Energi Terbarukan : Energi Alternatif yang Ramah Lingkungan

Dika Ariantika
4 min readJan 25, 2022

--

Energi, hal yang selalu kita butuhkan. Salah satunya yang paling krusial adalah listrik. Begitu banyak kontroversi terkait pembangkitan dari energi ini, karena masih banyaknya penggunaan pembangkit listrik konvensional yang tidak ramah lingkungan. Apakah solusi untuk menanggapinya?

Solar Panels Photo by Jeremy Bezanger on Unsplash

Energi listrik merupakan energi yang sangat konsisten digunakan oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik melalui website bps.go.id ditunjukkan bahwa konsumsi listrik Indonesia per kapita dari tahun 2017 hingga 2019 meningkat secara signifikan sekitar 0,058%[1]. Kenaikan jumlah konsumsi masyarakat terhadap energi listrik tersebut tentunya perlu diimbangi dengan sumber energi listrik yang mampu mendistribusikan energi melebihi kebutuhan yang diperlukan. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah terjadi peningkatan kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 1,3 GW hingga bulan Juni 2020[2].

Meningkatnya kapasitas pembangkit listrik juga memengaruhi kebutuhan sumber daya energi yang juga meningkat. Hingga juni 2020, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memiliki kapasitas yang paling besar diantara pembangkit lainnya sebesar 35.220 MW[2]. Oleh karena itu, realisasi produksi batu bara juga mengalami peningkatan ditahun 2020 hingga mencapai 550 juta ton[3]. Cadangan batu bara yang dimiliki oleh Indonesia pada data tahun 2018 hanya cukup digunakan hingga tahun 2074 jika jumlah pemakaian atau produksi konstan dan tidak ditemukannya cadangan batu bara baru[4].

Pemanfaatan PLTU Batu bara sebagai pembangkit listrik tentunya memiliki dampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi sekitarnya. Seperti PLTU yang berlokasi di Desa Punagaya, Sulawesi Selatan contohnya. Air panas yang dibuang ke saluran pembuangan sangat berpengaruh bagi pengusaha budidaya rumput laut di desa tersebut. Hal utama penyebabnya adalah berubahnya kualitas perairan di Desa Punagaya, sehingga angka produksi dan pendapatan juga turut menurun[5].

Tidak hanya terhadap kondisi sosial ekonomi, pemanfaatan PLTU Batu bara juga menghasilkan dampak yang cukup buruk terhadap lingkungan sekitarnya. Uap yang dihasilkan oleh sebuah PLTU Batu bara tentu tidak sedikit (dapat hingga menimbulkan polusi udara), begitu juga kandungan yang terdapat dalam uap tersebut. Terdapat partikel-partikel halus serta merkuri, arsenik, timbal dan kadmium yang dapat meyebabkan beberapa penyakit seperti meningkatkan resiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung dan penyakit pernapasan jika terhidup oleh manusia[6]. Dalam studi yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia bersama Tim Peneliti Universitas Harvard-Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG), dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2015 mengemukakan bahwa sebaran polusi udara hasil uap PLTU Batu bara sudah memenuhi beberapa kawasan di Indonesia. Jika tidak segera dilakukan penanganan untuk meminimalkan polusi udara yang timbul akibat uap PLTU Batu bara tersebut, dihawatirkan beberapa kawasan yang berada berhimpitan juga turut terkena dampak dari uap PLTU Batu bara yang terdapat di Indonesia.

Tidak hanya dampak negatif dari sebuah PLTU Batu bara terhadap lingkungan sekitarnya, kegiatan eksplorasi batu bara yang dilakukan untuk mencari sumber daya energi juga memiliki dampak buruk bagi lingkungan lokasi tambang eksplorasi batu bara tersebut. Mulai dari berkurangnya lahan hijau yang tentu saja dampaknya sangat bisa dirasakan saat ini seperti peningkatan suhu dan cuaca ekstrem[7]. Tidak hanya hasil uap dari PLTU saja yang menyumbang polusi udara, kegiatan eksplorasi sumber dayanya pun juga begitu, penggunaan alat-alat berat tidak menutup keadaan bahwa polusi udara bisa saja terjadi dalam suatu kawasan galian tambang eksplorasi batu bara[7].

Walau memberi dampak negatif yang cukup signifikan bagi lingkungan hidup sekitarnya, terdapat juga dampak positif yang ditimbulkan dari eksplorasi batu bara dan sebuah PLTU batu bara. Meskipun memang tidak dapat dipungkiri dampak positif yang dihasilkan nyaris tidak sebanding dengan dampak negatif yang dihasilkan. Sektor pertambangan dan industri batu bara dapat membuka lapangan pekerjaan baru yang dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat sebagai tempat atau wadah memenuhi kebutuhan finansialnya[8]. Selain itu, eksplorasi batu bara yang dilakukan juga tidak serta merta hanya dapat dikonsumsi untuk negara sendiri, namun dapat diekspor yang kemudian dana hasil dari kegiatan ekspor tersebut dapat menambahkan devisa negara[8].

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta melirik dampak-dampak yang ditimbulkan oleh PLTU Batu Bara menyebabkan timbulnya pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sebagai sebuah sumber energi alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi atau meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari PLTU Batu Bara. Meskipun memang belum banyak penmanfaatan EBT ini digunakan sebagai suatu sumber energi listrik. Adapun pembangkit yang memanfaat EBT sebagai sumber daya antara lain : Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau angin (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Pemanfaatan EBT sebagai sumber daya energi sebuah pembangkit bisa saja dimasifkan. Mengingat EBT berdampak cukup positif bagi lingkungan hidup disekitaran kawasannya. Jika menggunakan EBT sebagai sumber daya energi, polusi yang ditimbulkan oleh PLTU Batu Bara dapat diminimalisir. Selain itu, air panas yang dibuang pada saluran menuju pantai juga dapat diminimalisir keberadaannya. Tetapi, biaya yang dibutuhkan untuk membangun sebuah pembangkit bersumber daya EBT cukup tinggi jika dibandingkan dengan PLTU Batu Bara atau pembangkit listrik konvensional lainnya. Mengingat, komponen-komponen yang diperlukan sedikit lebih banyak dan juga cukup kompleks. Walaupun begitu, tetap saja pemanfaatan EBT sangatlah ramah lingkungan dan dapat dikatakan minim dampak negatifnya.

--

--